Waduk Pluit, Pemerintah Belum Siap dan Warga yang Egois

Berita tentang revitalisasi waduk Pluit semakin memanas. Hal ini dipicu oleh penolakan warga di bantaran Waduk Pluit untuk direlokasikan ke rumah susun. Bahkan Komnas HAM ikut cawe-cawe dalam masalah ini. Dan juga ada pihak-pihak yang sengaja mengompori warga untuk menolak kebijakan ini. Sementara Pemprov DKI sudah memulai menggusur rumah-rumah warga di bantaran waduk, padahal mereka masih tinggal di sana. Mari kita mengkritisi masalah ini dalam perspektif masyarakat yang terpelajar. 
Pertama, seberapa penting sih proyek revitalisasi waduk Pluit ini? Jawabannya adalah penting sekali. Jakarta yang setiap musim hujan menjadi daerah langganan banjir harus segera berbenah diri. Apalagi sudah menjadi tradisi bahwa setiap 5 tahun sekali Jakarta dilanda banjir besar. Januari 2013 lalu, adalah bukti bahwa banjir yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahunan ini semakin parah. Aktivitas terhenti total di sebagian besar wilayah Jakarta. Beberapa sumber menyatakan bahwa kerugian ditaksir mencapai 2 triliun rupiah. Bayangkan jika hal ini kita biarkan saja, mungkin banjir besar di Jakarta tidak hanya terjadi lima tahun sekali tetapi setiap musim hujan, atau mungkin Jakarta akan tenggelam.
Tidak ada jalan lain untuk menanggulangi banjir Jakarta, kecuali mengoptimalkan kembali fungsi situ atau waduk yang ada. Waduk yang berfungsi sebagai penampung air sebelum dibuang kelaut harus mampu menampung volume air dari sungai-sungai yang bermuara di teluk Jakarta. Dengan mengembalikan fungsi waduk diharapkan Jakarta akan segera terlepas dari rutinitas bencana banjir yang sebenarnya akibat ulah kita sendiri. 
Kedua, Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta menanganni masalah ini? Dalam rangka pengembalian fungsi waduk sebagai penampung air hujan untuk mencegah banjir, Pemprov DKI membuat program untuk mengembalikan fungsi situ-situ atau waduk yang ada di Jakarta. Salah satunya waduk Pluit, waduk yang paling luas di Jakarta. Waduk Pluit idealnya memiliki luas 80 hektare dan kedalaman 10 meter, namun kini tinggal 60 hektare dengan kedalaman 1-3 meter saja. Penyempitan dan pendangkalan waduk ini diakibatkan oleh pemukiman ilegal di sekitar waduk Pluit dan ditambah lagi perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan. Oleh karena itu, untuk membebaskan waduk Pluit, Pemprov DKI harus merelokasikan sekitar 17 ribu kepala keluarga di sekitar bantaran waduk. Namun di sinilah Pemprov DKI Jakarta menemui kendala. Sebagian besar warga menolak untuk direlokasi, mereka tetap ingin menetap di sana. Warga menuntut hak lebih dari kepemilikan tanah mereka, yang sebenarnya kepemilikan mereka adalah ilegal, bagaimana bisa tanah waduk menjadi milik mereka? Padahal itu tanah negara, yang fungsinya untuk kepentingan umum. 
Warga terlalu egois, mereka tidak berpikir bagaimana dampak buruk dari perbuatan mereka di masa yang akan datang. Mereka hanya memikirkan hak-hak pribadi tanpa memikirkan kepentingan umum. 
Ketiga, Apakah program ini sudah tepat? Kita dapat menilai program Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama untuk merevitalisasi waduk Pluit merupakan program yang bagus. Warga tidak digusur begitu saja, tetapi direlokasi ke rumah susun dengan fasilitas yang lebih dari cukup. Namun, seharusnya proses relokasi warga diselesaikan terlebih dahulu sebelum memulai penggusuran. Jika relokasi itu sudah selesai, konflik dengan warga yang digusur rumahnya dapat diminimalisir. Kalau warga sudah direlokasikan semua kan tidak perlu mengerahkan satpol pp dan polisi untuk memaksa warga to pak? Penggusuran juga enak, tanpa harus mendengar isak tangis warga yang digusur rumahnya. Kalau seperti ini kan mengindikasikan bahwa pemerintah belum siap.
Keempat, Komnas HAM ikut-ikutan? Wahai ketua Komnas HAM, apa yang anda lakukan dengan tim anda sudah benar. Tetapi juga jangan terlalu memihak warga. Masak memihak pada orang yang salah. Program Pemprov DKI Jakarta ini sudah baik, kurang baik bagaimana orang warga dikasih tempat tinggal gratis beserta fasilitas-fasilitas yang lebih dari cukup? Penertiban ini harus dilakukan, masak iya kita membiarkan Jakarta tenggelam setiap musim hujan. Pikirkan juga mana kepentingan umum mana kepentingan pribadi. Negara ini negara hukum “KATANYA”, jadi apa guna hukum kalau tidak ditegakkan? Hukum sifatnya memaksa, namun memaksa demi kebaikan bersama, bukan kebaikan pribadi.
Kelima, saran saya adalah pertama untuk warga tolong jangan egois, ikuti saja prosedur yang ditentukan oleh pemerintah, yakin saja bahwa program ini baik untuk kalian, baik untuk bersama, baik untuk Jakarta. Kepada Pak Jokowi selaku gubernur DKI Jakarta, tolong selesaikan dahulu proses relokasi warga pak, baru setelah itu memulai penggusuran. Saya yakin proses penggusuran akan berjalan lancar tanpa ada konflik dengan warga yang saat ini masih merasa tidak percaya dengan program pemerintah. Untuk Komnas HAM, utamakan aspek kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, ini demi Jakarta yang lebih baik.
Dan pada akhirnya, saya berharap semoga pogram ini tepat sesuai dengan tujuan. Semoga Jakarta menjadi lebih baik, menjadi Jakarta yang bebas banjir. Setuju?